Perasaan bahagia atau menderita itu sebenarnya sebuah pilihan. Mereka datang dari diri kita dan bersifat subyektif. Tergantung penerimaan diri kita masing-masing. (Paras)
Sekali lagi saya mendapatkan kata-kata bijak dari sebuah majalah. Masih juga dari majalah wanita bernafaskan Islam, walaupun berbeda dari yang sebelumnya.
Saya pernah baca disebuah buku panduan untuk menulis agar jangan ragu menuliskan kalimat-kalimat yang bermakna seperti pepatah, nasihat, atau bahkan hanya sebuah kata yang menarik bagi kita. Kumpulan kata dan kalimat itu nantinya akan berguna ketika kita ingin membuat tulisan, karna bisa kita masukkan untuk memperkaya tulisan kita.
Selama beberapa waktu ini saya memang senang mengumpulkan kalimat-kalimat penyejuk atau pengingat. Awalnya bukan sebagai bahan referensi dalam menulis, tapi untuk disebarkan kepada teman-teman saya yang sedang membutuhkan dukungan, membutuhkan penyejuk hati. Dan sampai sekarang pun masih begitu. Hanya saja sekarang ini saya punya kebiasaan baru. Membaca kalimat-kalimat yang saya kumpulkan itu, kemudian berusaha untuk merenungkannya. Mencoba menelaah, apakah selama hidup dibumi Allah ini, saya sudah berlaku sebaik kata-kata bijak itu? Sudahkah saya mengamalkan kata-kata bijak yang saya sebarkan itu?? Bukankah kita tidak boleh seenaknya menasehati orang dengan hal-hal yang kita sendiri belum pernah melakukannya?! Lagipula, apa saya mau dicap sebagai orang yang hanya omdo’ alias omong doing?! Gak mau kan?!
Ups… udah ngelantur rupanya. Ok..kita kembali ke laptop, I mean.. tulisan diatas. Waktu pertama membaca kalimat itu, saya sempat berpikir, mana mungkin sedih dan bahagia itu pilihan? Klo ada masalah, ada musibah, ya sedih. Masa mau bahagia? Begitu pula sebaliknya. Ya kan?! Mereka kan datang sesuai masanya, sesuai kejadiannya.
Tapi kemudian banyak hal terjadi dalam hidup saya. Hal-hal yang tak terduga, tak terbayangkan sebelumnya. Beberapa dari kejadian itu membuat saya teringat akan kalimat diatas. Bahwa bahagia atau menderita merupakan pilihan.
Contohnya waktu nenek saya meninggal dunia. Saat itu saya sedih sekali. Seumur hidup saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama beliau ketimbang orang tua saya, karena mereka bekerja. Selama itu kami menjadi tidak sekedar nenek dan cucu, tapi lebih kepada teman, sahabat. Saya bisa menceritakan semua hal kepadanya tanpa ragu, tanpa takut dimarahi. Kalau saya berbeda pendapat dengan bunda, yangtilah yang menjadi penengah. Beliau yang menjadi alasan saya mengalah pada bunda, bahkan jika saat itu sayalah yang benar. Pokoknya SHE’S THE BEST. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sedihnya saya saat itu. Begitu sedihnya sampai-sampai air mata ini tidak sanggup menetes.
Saya baru bisa menangis malam pertama setelah beliau dimakamkan. Saya merasa sendiri. Karena memang selama ini saya tidur dengan yangti. Air mata saya tidak berhenti mengalir malam itu. Untungnya saya tipikal orang yang bisa menangis tanpa bersuara keras. Saat itulah, entah bagaimana, saya teringat kalimat ini. Saya pikirkan baik-baik maksudnya. Terlintas dalam benak saya, bukankah saya seharusnya senang karena pada akhirnya penderitaan yangti saya berakhir. Beliau tidak lagi merasakan sakit. Beliau tidak lagi harus ‘menyusahkan’ anak-cucunya akibat sakitnya. Berpuluh tahun bersamanya membuat saya tau bahwa yangti saya tercinta adalah orang yang mandiri. Yang tidak mau menyusahkan orang lain. Bahkan keluarganya sendiri.
Saya jadi teringat, setiap kali menyaksikan tayangan tv yang berisikan orang-orang yang menderita sakit berlama-lama, yangti selalu berkentar begini, “ Mugo-mugo aku ga koyo’ ngono yo nda. Ndak usah pake sakit lama-lama, mesa’ke sing urip. Iya kalo ada uangnya. Klo ndak ada nanti tambah susah.”
Perlahan, isak saya mereda. Air mata ini pun sedikit-sedikit berhenti mengalir. Saya tentu masih sedih dan merasa kehilangan. Tapi saya memutuskan untuk menyudahi sampai disitu. Bukankah yangti saya mendapatkan keinginannya?? Meninggal tanpa harus merasa sakit dan menyusahkan banyak orang. Dan memang begitu adanya. Sejak koma setelah jatuh dikamar mandi, yangti tidak pernah sadar. Beliau menghembuskan nafas dengan tenang ketika suster hendak memandikannya. Pergi dengan mendengarkan ayat-ayat Allah ditelinganya (saya yang memasangkan murotal melalui discman karena saya yakin orang yang koma masih bisa mendengar, hanya tak mampu merespon).
Lagipula, jika saya terus-terusan bersedih, kapan saya punya waktu untuk menyebarkan segala kebaikan, segala nasehat, segala nilai baik, segala kekuatan yang selama bertahun-tahun ini beliau ajarkan, tanamkan dan tunjukkan pada saya???
Dengan mata sembab dan airmata yang mulai mengering, saya bisa tersenyum. Tersenyum, mengingat bahwa dengan memutuskan untuk tidak membiarkan kesedihan menggerogoti saya, saya telah membuat yangti hidup kembali. Hidup dalam hati dan pikiran saya, melalui tindakan saya.
Kamar adek, 23 Sept 2007
No comments:
Post a Comment
Mari mari.. silahkan tinggalkan jejak pelangimu ^_^