26 Jan 2010

Kenapa bukan yang baik??


Baca notes-ku di FB jadi ingat bahwa ada pengalaman yang belum sempat kutuliskan baik diblog maunpun di notes ini.

Kejadian ini mengambil tempat di pasar Ciputat yang hampir Kurang lebih 2 minggu lalu. Tepat dihari minggu, sepulang saya dari bersilaturahmi.

Bagi yang tau pasar ciputat, pasti tau sekali betapa ramai dan sumpeknya tempat itu. Pasar dan terminal bisa dibilang menjadi satu. Angkot dan ojek berebut tempat untuk mencari dan menunggu penumpang. Titel biang macet sudah melekat dari jaman saya masih dengan seragam putih biru sampai hari ini, ketika seragam itu sudah bertahun-tahun saya tanggalkan.

Selama bertahun-tahun, ada banyak perubahan yang terjadi di ciputat. Mulai dari kebakaran pasar (itu terjadi waktu saya masih berseragam putih biru), pembangunan pasar baru (setelah kebakaran), ruko-ruko baru bermunculan, sampai pembangunan jalan. Setelah yang terakhir ini saya tidak terlalu mengikuti, karna jarang melewati ciputat. Saya lebih sering menggunakan kereta api daripada angkot yang melewati ciputat.

Jadi, 2 minggu lalu itu adalah salah satu hari khusus dimana saya harus menikmati sibuk dan beceknya ciputat.

Saat itu, saya bermaksud langsung menuju sudut diseberang pasar dimana angkot menuju rumah saya, ngetem. Sayangnya ga segampang itu menuju sudut itu. Saya harus tertahan oleh angkot dan ojek yang sedang berebut jalan plus keranjang-keranjang buah yang bertebaran sembarangan. Jalanan yang berlubang dan becek pun menjadi pelengkap susahnya menuju tempat angkot ngetem –padahal dekat sekali jaraknya-.

Nah, dalam kondisi stuck itu, ada pemandangan yang menarik perhatian saya. Dari tempat saya berdiri, saya melihat seorang kakek, dengan tubuh bungkuk menengadahkan tangan ke seorang penjual duku. Waktu penjual duku mengangsurkan uang logam, kakek itu menggeleng. Tangannya menunjuk ke buah gundukan duku yang berwarna coklat muda didepannya. Tampak sekali kalau beliau menginginkan duku itu. Dan sepertinya si ibu penjual mengerti. Karna sebentar saja, tangan si kakek sudah berisi beberapa butir duku. Untuk kebaikannya memberikan duku itu, saya sungguh berterima kasih. Walaupun tidak dipungkiri, ada sedikit kesedihan menyelinap karna Ibu itu memberikan duku yang kulitnya sudah menghitam. Mungkin memang hanya kulitnya saja yang menghitam, dan tidak mempengaruhi rasanya. Tapi, tidak bisakah memberi duku yang baik?? Yang kuning kecoklatan. Karna jelas itulah yang diingkan si Bapak, karna walaupun di tangannya sudah ada beberapa butir duku hitam itu, pandangannya tak juga lepas dari duku yang masih bagus. Pun ketika si ibu penjual melambaikan tangannya, tanda agar si bapak segera berlalu dari lapaknya.

Arghhh!! Saya ingin sekali agar mobil, motor dan segala macam yang menghalangi saya itu menghilang, agar saya bisa memberi yang diinginkan si bapak. Karna toh apa yang diinginkannya masih dalam kemampuan saya. Sayangnya, saya bukan Harry Potter yang bisa membuat benda-benda menghilang. Saya hanya bisa melihat semuanya dari jauh. Dan sambil mendoakan agar si Bapak –pada akhirnya, segera- bisa mendapatkan yang dia inginkan saat ini. Duku dengan warna coklat kekuningan. Semoga, segera ada yang bisa membaca sorot matanya.

Saya hanya bisa mencoba memahami si ibu penjual. Mungkin berat baginya memberikan duku yang baik, karna dari yang baiklah dia mendapat keuntungan. Walaupun bagi saya, memberi beberapa buah yang baik, tidak akan membuatnya miskin atau apalah. Mengapa tidak berpikiran bahwa untuk mendapatkan yang terbaik, maka yang harus kita lakukan adalah memberikan yang terbaik. Pelayanan terbaik, senyum terbaik.

Bukankah kita menginginkan yang terbaik dari BELIAU?? Bukankah kita kecewa, jika ada orang yang memberi sesuatu yang kurang atau bahkan tidak baik pada kita?? Lalu kenapa kita melakukan hal yang membuat kita kecewa bahkan marah jika kita dalam posisi orang itu??

Bukankah Allah, melalui junjungan kita, Nabi Muhammad SAW (berhubung saya muslim, maka contoh yang bisa saya berikan ya berdasarkan agama saya) telah mengajarkan untuk berlaku baik dengan memberikan yang tebaik?

Dan bukankah Allah sudah memberikan petunjuk untuk memberikan yang terbaik??

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah:267)

Semoga .. apa yang ALLAH SWT tunjukkan pada saya hari itu, bisa membuat saya jadi manusia yang lebih baik.

Amiin.

11 Jan 2010

Aku dan Highheels (si orange)



Baca judulnya, pasti deh kalian ingat salah satu chicklit yang kalo ga salah pernah juga di filmkan. Itu loohh, yang judulnya 'Me VS Highheels'. Bener kaaaann?
 
Ga salah sihhh, tapi ada yang beda loh. Pertama, yang ini kisah pribadiku dan bukan rekaan. Plus, dalam cerita ini, ga ada hubungannya dengan cinta-cintaan atau apapunlah yang berhubungan dengan itu. Beneran deh.

Tulisan ini malah masih berkaitan dengan tulisanku sebelumnya tentang resolusi di tahun baru 2010 ini. Eits, jangan salah. Ber-highheels ria bukanlah resolusinya. Sama sekali bukan. Tapi .. aku kan ingin memberi kebebasan pada diri ini untuk melakukan banyak hal. Nah salah satunya memakai mahluk tak bernyawa bernama high heels ini.

Untuk mereka yang sudah cukup lama mengenalku pasti tau banget deh bahwa high heels adalah a BIG NO NO untukku. Selain karna posturku yang BESAR -yang tentunya akan menghambat gerak-ku-. Sebab lainnya adalah.. adanya sedikit masalah pada mata kaki kananku plus masalah pada tulang belakangku. Baik dokter maupun Mak Suprat -tukang urutku- sudah menitahkan untuk menghindari benda ini. Jadii..selama ini alas kaki yang ada dalam daftarku adalah sendal jepit dan sepatu teplek. Lain dari itu paling selom dengan hak 1 cm yang hanya berguna saat kondangan -dan kita semua taulah.. dalam 1 tahun hanya bulan-bulan tertentu saja yang ramai hajatan- plus wedges yang walaupun sedikit tinggi, tapi dia flat dan tidak membuat kaki menukik seperti high heels.

Entah mahluk mana yang merasukiku sampai terbujuk untuk membeli sepatu bertumit lebih dari 3 cm itu, tepat di hari natal, waktu ada reuni kecil-kecilan dengan beberapa teman SMA. Awalnya sahabatku yang naksir karna warnanya cocok sekali dengan seragam kantornya. FYI, dikantornya tiap pegawai perempuan harus berdandan rapi dan tampil cantik, plus no flip flop or slipper. Tapi sayangnya, sepatu itu tinggal 1 ukuran, yaitu ukuranku yang sedikit diluar kebiasaan :D. Coba mencoba jalan sedikit, kok beda ya. Akhirnya dalam sebentar saja,  si high heels orange sudah berpindah tangan >.<

Pemakaian perdana.. cukup sukses. Mengingat sungguh diluar kebiasaan. Kali itu aku memakainya langsung dari rumah. Tentunya dengan pandangan kuatir si mama. Ibu mana coba, yang ga kuatir, mengingat 'hobi' anaknya tuh jatoh dan terkilir bahkan ketika berjalan di bidang datar sekalipun.  So, dengan banyak sekali doa dalam hati, akhirnya aku bisa tiba dengan selamat dikantor.

Hmm.. memang ada sensasi berbeda waktu pake si orange ini. Seperti apa?! Well.. sedikit susah diungkapkan dengan kata-kata. Entah karena dengannya, aku merasa lebih 'tinggi, atau mungkin cuma aku aja yang norak. Secara itu pengalaman pertamaku. Terserahlah yang mana.

Apa si orange aku pakai seharian??? Ya enggalah. Gila aja!! Sensasinya belum sebegitu hebatnya sampai bisa membuatku bertahan memakainya seharian. Begitu sampai di kantor, dia harus rela digantikan dengan sandal karet. Apalagi beberapa hari setelah pemakaian perdana itu, aku dibuat deg-degan setengah mati gara-gara harus naik eskalator yang flat. Tau kann? Yang kayak di Giant atau Carefour? yang cuma bidang datang sedikit menanjaka atau menuru, tergantung tujuan kita.Sumpah, rasanya takut meluncur jatoh aja. Bukan rasa sakitnya yang tak tertahankan klo emang jatoh, tapi rasa malunya itu looohhh. Secara yang namanya mall kan rame banget pas jam makan siang. Jadi ceritanya hari itu aku harus ketemu klien. Dengan pertimbangan bahwa ketemunya cuma sebentar dan kesananya naik mobil, yang dengan santainya aku pake tuh si orange. Dan emang waktu ketemu klien sih ga menyiksa. Nahh pas lunch-nya itu. Asli lupa banget tuh klo mall tempat kita lunch cuma ada eskalator macam begitu. Lha wong baru sekali kesana. Mana ingetlahhhh!! Untungnyaa.. BELIAU masih sayang sama aku. Jadilah hari itu aku tidak mempermalukan diri sendiri dengan kepleset atau jatoh. Fiuhhh.

Anyway.. sekarang si orange duduk manis di kolong meja kerjaku. Yahh... besok-besok sih pasti akan kupake lagi lah. Tapi tentunya setelah benar-benar memastikan bahwa tempat yang kutuju memiliki eskalator normal, plus bahwa kepergianku itu tidak memakan waktu lama.

Hmmm .. paling tidak si orange ini sudah menambah daftar pengalamanku. Jadi ingat kata-kata orang-orang besar bahwa terkadang, bukan apa yang telah kita lakukan yang membuat kita menyesal, tapi apa yang tidak kita lakukan. 

My Sanctuary 10 Jan 10

5 Jan 2010

Resolusiku dalam Catatanku

Siang ini benar-benar sepi disini. Semua orang di divisiku sedang makan siang diluar. Ada juga sih yang absen hari ini. Sementara aku? Hmm.. lebih memilih makan siang dikantor dan menulis disini. Ditemani suara-suara merdu di Winamp-ku -dan secangkir kopi- tentunya.

Awal tahun begini pasti kebanyakan orang masih sibuk dan bersemangat dengan resolusi yang mereka buat untuk menyambut tahun 2010 ini.

Bagaimana dengan aku???

Hmm.. kali ini aku memutuskan untuk tidak memusingkan diri dengan resolusi. Karna toh, kalau mau jujur, berapa banyak sih, resolusi yang benar-benar menjelma? Atau berapa banyak resolusi sih, yang benar-benar kujalani dengan konsisten dan keyakinan penuh??

Jadi kali ini, mungkin untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku memutuskan untuk memberikan kebebasan sepenuhnya pada diriku untuk melakukan yang benar-benar diinginkan. Untuk kembali menemukan dirinya. Mungkin terdengar aneh, tapi beberapa tahun belakangan, ada banyak kejadian yang membuatku harus melakukan banyak kompromi, banyak mengalah, banyak memendam rasa. Sampai pada suatu titik, rasanya bahkan aku tidak mengenal diriku, tidak tau apa yang kumau. Dan untukku, itu terasa sangat menyedihkan.

Aku, yang sudah bersama diriku lebih dari seperempat abad, kenapa bisa sampai kehilangan?? Maka aku harus segera menemukannya kembali. Sebelum dia benar-benar menghilang.

Maka itulah yang menjadi resolusiku tahun ini.